Perempuan dalam Kerudung


Sabtu kemarin tgl 19 Maret 2011 acara Oprah Winfrey Show di Metro TV membahas tentang perempuan Mesir.  Orang yang melakukan wawancara adalah seorang perempuan Denmark bernama Nana pada dua orang perempuan Mesir bernama Hanna (saya lupa namanya) berprofesi sebagai desain interior-tidak berkerudung dan dr. Heba berprofesi sebagai wartawan-berkerudung.  Pembahasan menjadi bias dan mengarah pada orang-orang berkerudung & tidak di Mesir lalu diangkat kemungkina konflik yang ada diantara mereka.   Mempertajam situasi bahwa seolah-olah berkurudung itu dipandang budaya bukanya keyakinan dan semakin dicari kelemahan perempuan Mesir (Islam maksudnya) dengan hak-hak hidupnya.

Saya mulai ingin tahu perkembangan pembahasan yang dalam TV show ini lanjutannya akan seperti apa.  Hanna menjelaskan pandanganya bahwa orang yang berkerudung itu tradisional, kuno, terkekang dan pandanganya tidak terbuka. Tampak menderita banget yah, orang berkerudung yang melihat acara ini pasti bingung karena aktifitas kami sama saja seperti mereka. Lalu Oprah bertanya pada dr.Heba tentang pendapat Hanna tersebut, dr.Heba menjawab bahwa dirinya tidak merasa seperti itu, dia merasa baik-baik saja bahkan lingkunganya, keluarga, komunitasnya, pendidikanya membuat dia maju dan membuatnya nyaman (kurang lebih seperti itulah).  Videonya bisa dilihat disini cuma sayangnya vidio ini tidak dilengkapi dengan dialog; pertanyaan interaktif dari Oprah kepada perempuan Mesir yang berkerudung dan tidak berkerudung, mulai curiga maksud pembicaraan ini kearah mana karena pembahasannya masih permukaan.

Oprah yang notabene seorang non-muslim membahas tentang perempuan berkerudung, tidak salah sih tapi pembahasanya mengambang & tidak mendalam lalu lebih ditekankan pada konflik-konflik yang ada.  Paling lucu ketika Nanna masuk ke rumah dr.Heba, Nanna kaget karena dr.Hebba menggunakan produk kecantikan.  Dr.Heba pun hanya menjawab,”Saya adalah wanita normal dan sehat.”  Nanna sering membandingkan kehidupan pribadi dan pekerjaanya antara Denmark dan Mesir yang berkesan bahwa perempuan Denmark lebih mandiri dibandingkan perempuan Mesir (islam) yang terikat beribu aturan.

Sebetulnya sudah lama saya merasa gelisah dengan kondisi ini.  Gelisah dengan pertanyaan dan pernyataan banyak orang tentang hubungan kerudung dan pribadinya.  Saya berada dalam keluarga yang ngoboy dengan budaya sunda yang cukup tinggi, jika ada acara selalu ada menyan, kalau ada yang meninggal kuburanya ditabur bunga, dan lain-lain.  Sejak salah satu kakak saya menggali Islam dan ibu mendirikan masjid, maka sedikit demi sedikit ada ritual-ritual tertentu dihilangkan, karena khawatir terjadi percampuradukan antara budaya dan ajaran agama menjadi ritual yang menyatu.  Keluarga ibu yang cukup kuat dengan budaya leluhurnya terutama kakek sementara keluarga bapak termasuk keluarga pesantren yang ekstrim.  Bisa difahami karena terbatasnya pengetahuan dan daya nalar masyarakat saat itu karena pengaruh penjajahan Belanda, dimana banyaknya aturan Belanda yang melarang kyainya menerjemahkan isi Quran.  Bisa dilihat disini.  Jadi sangat wajar beberapa kalangan penganut islam tidak menjalani ritualnya tanpa tahu makna dibaliknya hingga melekat dan turun menurun pada beberapa generasi.  Begitupun ibuku pernah cerita, bahwa mereka tidak boleh menerjemahkan Quran oleh Belanda lalu dibuatlah isu bahwa menerjemahkan Quran itu haram hukumnya. Dalam perkembangannya keluarga saya lebih dinamis, rata-rata menyukai dunia kesenian, berdagang dan pendidikan.

Ibu memasukan saya ke SMP (tahun1990) dilanjutkan ke SMA (tahun 1993)yang sama berbasis Islam di Bandung.  Bagi perempuan diwajibkan memakai kerudung jika masuk sekolah.  Saat itu tahun 1990 – 1996 kondisi pemerintah dan masyarakat pada umumnya masih sangat asing dengan perempuan berkerudung.  Lebih sering disingkirkan dan dianggap udik, bahkan perempuan berkerudungpun dianggap merusak citra perusahaan, jadi banyak perempuan menunda berkerudung dengan alasan takut tidak mendapatkan pekerjaan. Bahkan dari keluarga lebih parah lagi, orangtuanya melarang putrinya berkerudung dengan alasan takut tidak dapat jodoh.  Nah lho, pikiran ini tentu tidak tumbuh sendirinya tapi karena kondisi sosial yang menciptakan citra seperti itu. Saya ingat betul, sekitar tahun 1992-an (saat masih SMP), saya dengar ada seorang siswi perempuan yang tidak diperbolehkan masuk kelas di sebuah sekolah negeri ternama di Bandung karena dia tiba-tiba datang kesekolah dengan menggunakan kerudung.   Siswi tersebut tidak tinggal diam, mempermasalahkan dan berproses sampai akhirnya selama beberapa tahun kemudian SMA Negeri melegalkan siswinya berkerudung.  Mengingat kejadian itu dalam benak saya betapa beruntungnya saya tidak perlu berjibaku memperjuangkan diri agar bisa sekolah dengan berkerudung bahkan dengan enaknya ketika sampai dirumah saya lepas kerudung untuk pergi main.  Memang, tidak semua siswi di sekolah saya berkomitmen berkerudung sampai kegiatan sehari-harinya tapi hanya karena peraturan sekolah. 

Ini juga sering menjadi gunjingan di tengah-tengah masyarakat,”Ko pergi sekolah berkerudung, tapi di rumahnya ngga pake kerudung, munafik betul.”  Saat itu saya bingung berhadapan dengan pertanyaan tersebut, saya tahu pernyataanya salah dan ada jawaban yang tepat tapi saya terlalu bodoh untuk memberinya penjelasan.  Saat masuk SMA, saya dan keponakan berjanji untuk komitmen memakai kerudung selamanya.   Kamipun melakukanya tanpa mencari tahu dasar hukum dalam quran maupun hadistnya seperti  apa, hanya sebatas tahu bahwa perempuan islam itu wajib berkerudung.  Itu saja.  Proses ini sangat mudah karena di lingkungan sekolah memakai kerudung semua sehingga sifat dan sikap kami biasa-biasa saja layaknya remaja biasa. Kami menyukai musik, seperti lagu-lagu RIFF, IWA-K, SLANK, DEWA, NIRVANA, lagu-lagu oldies 80-an, Brian Adams, STING, PERL JAM, banyak lah. Kegiatan nonton film rame-rame ke bioskop, ikut pelatihan pecinta alam, ngabring sana ngabring sini, biasalah layaknya remaja puber yang butuh pengakuan diri dan tentunya bergosip.  Ritme ini saya bawa ke tempat saya kuliah, tanpa merasa bersalah, tertekan atau berusaha membatasi diri karena berkerudung.  Benar-benar sangat biasa dan nyaman berada dilingkungan yang lebih kompleks, ada yang berkerudung dan ada yang tidak berkerudung.  Bahkan saya ikut kegiatan Teater tanpa merasa bersalah, karena saya fikir saya suka ya saya jalani tanpa membebani diri saya yang berkerudung sama sekali. Islam tidak melarang perempuan beraktifitas selama berada dalam koridor.  Kami, perempuan dan laki-laki sama-sama manusia yang mendapatkan hak dan kewajiban yang sama.

Sampai akhirnya saya tersadar bahwa ternyata ada yah opini yang tumbuh ditengah lingkungan tentang orang yang berkerudung.  Seperti: “Kamu tuh aneh yah, berkerudung tapi suka teater, kamu tuh aneh yah berkerudung tapi dandananya baju kotak-kotak flannel dan jeans, kamu tuh aneh banget  yah masa berkerudung pake sandal jepit, kamu tuh aneh yah berkerudung tapi suka musik metal, kamu tuh berkerudung tapi funky yah, kamu tuh ngga kaya jilbaber-jilbaber lainya deh, orang yang berkerudung itu orang suci-tidak punya kesalahan apa-apa, masa yang berkerudung sikapnya kasar saya aja yang tidak berkerudung bisa berkata baik, masa berkerudung ketawanya ngakak” dan banyak lagi komentar-komentar yang membuat saya bingung.  Dari sini saya mulai aneh sendiri dengan pernyataan orang-orang, saya fikir emangnya yang pake kerudung tidak punya hati untuk memilih selera, otak untuk berfikir, mata untuk membaca, telinga untuk mendengar, membaca hidup; menganalisa hidup dan kehidupan lalu kamu mau buat hidup orang yang berkerudung itu menjadi sosok aneh , tidak  berkarakter dan terbatas sesuai dengan apa yang kalian pikirkan.   Seperti harus diam dirumah, solat, mengaji-tentunya aktifitas spiritual ini berdasarkan sudut pandang orang-orang yang sempit.   Lalu yang cukup menggangu dengan munculnya istilah “jilbaber” dengan konotasi gunjingan yang jelek, dimana “para jilbaber” ini mempunyai daya sosial yang buruk.  Pengkotakan apa lagi yang membuat manusia serba terbatas,padahal mereka sendiri yang menciptakan keterbatasan itu. Satu hal lagi, bukankan perempuan berkerudung juga manusia? Bedanya kami berkerudung jadi orang-orang tahu bahwa kami beragama islam. Kenapa ini mengganggu?

Bertahun-tahun saya hidup di sekolahIslam dengan persamaan hak dan kewajiban, satu kelas bercampur laki-laki dan perempuan, merdeka dengan berbagai pilihan, bersaing dikelas dengan laki-laki maupun perempuan,diskusi, makan kupat tahu di teras, makan baso di taman, bukan situasi tabu.  Setelah keluar dari lingkungan sekolah yang begitu merdeka ternyata masyarakat begitu jahat memandang kami dan serba membatasi.   Atau lebih tepatnya tidak tahu, barangkali. Belakangan akhirnya saya menikahi laki-laki berlatar belakang pesantren dan keluarga pesantren.  Stigma orang tentang keluarga dan yang pernah berpesantren ternyata dangkal sekali, seolah tidak berwawasan luas dan udik.  Tapi bukankah banyak diantara kita sekolah  tanpa berbasis agama juga banyak yang udik, wawasannya sempit dan tidak mau membuka diri?

Zaman semakin luas pandanganya terutama dengan berbagai media yang bermunculan bagai jamur.  Pemakai kerudung dan aktifitasnya bermunculan dari berbagai sudut dari penyanyi, pengusaha, pekerja,penulis, pengajar,pemain film, pembuat film, pemain teater, padagang, supir bis trans Jakarta sangat mudah ditemukan.  Bahkan mereka mampu mengerjakan banyak hal sebagai manajer rumah tangga hingga berkarya di waktu yang bersamaan.  Menjadi hal yang lumrah dan sangat dinamis.  Sampai-sampai untuk beberapa perempuan Islam, memakai kerudung itu menjadi trend bahkan semacam modis sehingga banyak juga yang tidak memegang aturan memakai baju yang “baik” sebagai perempuan islam.  Seperti memakai jeans yang ketat lalu kaosnya kecil sehingga punggungnya sedikit kelihatan, memakai baju tapi sangat menerawang dan banyak lagi.  Ini pembahasan akan lain lagi, karena akan melibatkan banyaknya percampuran budaya, trend dan perkembangan selera di lingkungan tersebut.  Apalagi perkembangan desain baju muslim semakin ramai di belantika pasar, distro, factoryoutlet dan meraih pangsa pasar yang jelas.  Pemakai kerudung menjadi kelihatan lebih beragam, kreatif dan beradaptasi dengan zaman dan kondisi sosial di lingkungan setempat.  

Lalu tiba-tiba muncul Oprah dengan opininya tentang “wanita Mesir” yang berkonotasi “Perempuan Islam berkerudung dengan pribadinya”, seolah-olah perempuan islam berkerudung itu tertekan, tidak terbuka, kolot, kampungan, tidak berpendidikan, tidak mandiri seperti halnya perempuan Denmark (ini seolah selalu ditekankan berkali-kali, atau saya yang terlalu sensitif).  Konflik dimunculkan tentang perbedaan keyakinan masing-masing orang yang berkerudung, posisi perempuan yang ingin cerai dari suami dan kebijakan aturan pengadilan Mesir (islam) dalam menanganinya.

Let’s us see the forest as a whole, bagaimanapun kita hidup dibelantara yang luas. Kamu berada di wilayah kecil yang lain begitu juga dengan saya. Saya terpacu untuk selalu belajar dan belajar lagi. Go baby go (naooon siiiiih... )

1 komentar:

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv